Efektivitas Produksi Rempah Perlu Didukung Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

BANDA ACEH (5/11/2023),  Sudah saatnya masyarakat dan pelaku usaha pertanian dan perkebunan di Aceh memanfaatkan teknologi untuk produksi dan pengolahan rempah. Rempah Aceh harus menjadi peluang di masa depan. Hal ini selaras bahwa pertanian dan perkebunan menjadi sektor penyumbang ekonomi terbesar di Aceh dibandingkan sektor lain.

“Dengan sentuhan teknologi proses produksinya bisa lebih masif dan pengolahannya lebih berkualitas,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK Didik Suhardi kala membuka  seminar internasional dengan tema Sejarah dan Potensi Ekonomi Rempah Aceh dalam rangkaian kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8, di Hotel Hermes, Minggu, (5/11/2023).

Didik mengatakan, rempah-rempah Aceh yang sudah terkenal sejak masa kerajaan dulu memiliki banyak khasiat dan fungsi. Oleh sebab itulah nilai jualnya pun begitu tinggi. Selain itu, Didik juga menyarankan, agar potensi rempah Aceh juga dikembangkan sebagai sarana pariwisata. Dimana para pengunjung nantinya dapat mempelajari sejarah, proses penanaman hingga tahapan pengolahan rempah menjadi produk turunan.

“Dari seminar ini kita berharap akan muncul berbagai rekomendasi sehingga rempah Aceh tidak hanya tinggal sejarah masa lalu, tapi bisa ditingkatkan lagi dengan pengetahuan dan teknologi,” ujarnya.

Menurut Didik, rempah adalah sarana diplomasi budaya melalui kuliner, tourist atraction, dan daya tawar ekonomi. Maka, nilai rempah harus ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi dan kemajuan ilmu marketing. Sebagai contoh, pala yang dapat diolah menjadi minyak esensial dengan harga jual jutaan per 100ml. Artinya, rempah yang dijual tidak cukup sebagai bahan mentah namun harus menjadi bahan jadi.

“Rempah dari segi politik dan obat harus dapat meningkatkan daya tawar Aceh dalam diplomasi kepentingan daerah dan nasional. Efektivitas produksi rempah perlu didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini mendukung Aceh agar tetap menjadi produsen utama rempah,” ujar Didik seraya menegaskan bahwa langkah-langkah mencapai kemajuan harus segera digenjot.

“Karena Indonesia ditargetkan menjadi Negara Maju pada 2045,  22 tahun lagi bukan waktu yang lama, maka langkah-langkah kemajuan harus terus digenjot. Salah satu indikator negara maju adalah indeks persepsi korupsi yang rendah. Indikator lain adalah indeks kemudahan berbisnis. Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara, Indonesia masih rendah. Buktinya adalah seperti Vietnam pada 2017 telah memiliki mobil listrik premium,”urai Didik seraya menjelaskan bahwa Indeks Ketimpangan masih tinggi di Indonesia.

“Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat. Seharusnya, pemerataan ekonomi harus berjalan selaras dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan,”pungkas Didik berharap agar muncul berbagai rekomendasi dari seminar ini dengan tujuan untuk kemajuan Aceh. 

Seminar tersebut diikuti ratusan peserta dari unsur budayawan, sejarawan, jurnalis, akademisi, pelaku UMKM, dan mahasiswa. Forum berskala internasional ini diisi oleh empat narasumber, yakni, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK, Didik Suhardi, Ketua Umum Diaspora Aceh, Mustafa Abubakar. Kemudian Staf Ahli Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat Muhammad Adlin Sila dan Direktur Industri Kreatif Musik, Film dan Animasi pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Muhammad Amin Abdullah.

Kontributor Foto:
Reporter: